Hari AIDS, Mana Substansimu?

Berita buruk bagi seluruh manusia di dunia, “laju epidemi HIV/AIDS secara global terus melonjak.” Setiap tahun pada awal Desember, semua orang di penjuru bumi selalu setia untuk memperingati Hari AIDS Sedunia.

Tujuannya, memegang komitmen bersama untuk mencegah serta menekan laju pertumbuhan penyakit berbahaya ini. Sekaligus menghormati hak dan meningkatkan kualitas hidup korban yang telah terjangkit HIV/AIDS. Sayangnya, harapan tak selalu sesuai dengan kenyataan.

Menurut catatan di berbagai media, tahun 2006 jumlah orang yang tertular HIV di tanah air sekitar 169.000 hingga 216.000 jiwa. Bahkan di Flores dan sejumlah daerah lain terdapat korban yang masih berusia balita. Sementara, diproyeksikan setiap tahun ada sekitar lima juta orang dari seluruh penduduk di dunia, terinfeksi HIV. Empat puluh juta jiwa positif mengidap AIDS. Sekitar 25 juta jiwa diantaranya meninggal dunia akibat AIDS. Beragam varian kampanye pun belum mampu menekan laju epidemi HIV/AIDS.

Memang, aksi kepedulian yang dilakukan tiap tahun bukanlah jaminan untuk meminimalisir jumlah penderita HIV/AIDS. Setidaknya langkah-langkah komprehensif perlu ditingkatkan. Sejumlah rekan berseloroh, “percuma memperingati hari AIDS, jika semua itu seremonial belaka.” Bahkan Abraham Maslow, dalam Humanity Psychology, mengatakan bahwa krisis moral abad ini adalah yang terbesar dialami manusia sepanjang sejarah.

Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Sebab tempat potensial penularan HIV/AIDS ini masih mudah ditemukan, seperti prostitusi terselubung, panti pijat ++, diskotek, hingga kafe remang-remang. Daerah tersebut merupakan wadah elegan bagi komunitas tertentu, yang ujung-ujungnya diakhiri dengan ritual seks bebas.

Permisif

Seks bebas layaknya sebuah ‘menu spesial’ yang teramat sayang jika dilewatkan. Peminatnya pun berasal dari beragam strata sosial maupun usia. Mulai remaja hinga lansia, dari kelas ekonomi rendah hingga pejabat eselon. Mereka semua menjadi budak nafsu yang mengejar kenikmatan sesaat. Asal senang, halal bagi mereka. Dosa dan penyesalan adalah bab terakhir bagian hidupnya.

Kebanyakan remaja dan mahasiswa cenderung latah untuk mencicipi kehidupan ini. Dengan beragam alasan klasik, mereka ikhlas melepas harga diri tanpa berpikir panjang efek negatif di kemudian hari. Atas nama tren, cinta, atau kebutuhan, seks bebas menjadi bagian yang tumbuh di masyarakat. Indikator kasih sayang hanya terukur melalui body language. Istilah kissing dan make love pun menjadi agenda setting dari diskusi mereka.

Fenomena permisif ini terjadi akibat semakin bergesernya nilai-nilai ketuhanan dalam diri individu dan masyarakat. Dengan pola yang semakin mengerucut, terkesan membatasi ruang gerak masyarakat. Kondisi ini diperparah dengan kemajuan teknologi yang kian mempersempit wilayah interaksi dalam konteks jarak sosial. Tidak jarang kemajuan teknologi disalahgunakan untuk memperluas pesan-pesan destruktif.

Perlahan namun pasti, era globalisasi menunjukkan adanya distorsi budaya, etika maupun moral. Masuknya teknologi perekam portable ke Indonesia membuka akses yang memudahkan upaya komodifikasi. Adegan-adegan syur yang sangat tabu, kini mudah diakses oleh siapapun, kapanpun dan di manapun. Disadari maupun tidak, hand phone, handycam, kamera digital, atau teknologi sejenisnya bermetamorfosis menjadi perusak ranah-ranah privat.

Momentum Manis

Berkembangnya seks bebas yang berdampak besar bagi kelangsungan hidup bermasyarakat, telah mencapai titik akut. Namun, terlalu hipokrit jika kita tidak melakukan langkah-langkah signifikan untuk meredam segala kemungkinan buruk yang akan terjadi.

Hari AIDS Sedunia, sepantasnya menjadi momentum manis bagi semua pihak untuk merefleksikan dan berpartisipasi mencari alternatif solusi dalam merekonstruksi moralitas bangsa. Sinergi antara pemerintah, lembaga sosial terkait, tokoh agama maupun masyarakat, orang tua dan individu mutlak dibutuhkan.

Minimal sejak anak usia dini perlu ditanamkan mental, akhlak dan moralitas yang tinggi. Pelaku seks bebas sudah saatnya ditindak tegas. Pemberantasan wilayah potensial penularan HIV/AIDS, sarana maupun prasarana lain (pengedar dan pelaku narkoba) perlu diberantas. Dan penanggulangan penderita HIV/AIDS lebih di perhatikan.

Sangat ironis bila setiap memperingati Hari AIDS Sedunia, justru didapat peningkatan jumlah pasien HIV/AIDS. Tak terlihat substansi seremoni ini. Apalagi data pengidap HIV/AIDS di atas hanya mengacu pada kasus yang terdeteksi, ini berarti masih ada kemungkinan banyak kasus lain yang tidak terpantau. Bukankah kita tidak ingin rekan, saudara, atau kita sendiri meninggal dengan sia-sia?

Tidak ada komentar: