Diet Televisi, Yuuk !!


Gerakan untuk mengurangi menonton televisi sudah tercetus sejak 23 Juli 2006. Saat menjadi reporter magang di Harian Umum Republika, Jakarta, saya mendapat kesempatan untuk mewancarai Boby Guntarto, Ketua Yayasan Pendidikan Media Anak (YPMA). Serta Elly Risman dari Yayasan Kita dan Buah Hati (YKBH), mereka adalah salah satu penggagas gerakan tersebut. Kedua tokoh ini sepakat bahwa kondisi tayangan pertelevisian kita telah masuk pada kategori akut.

Kedengkian, percintaan, mengumbar aurat, zina, aborsi, persaingan, kekerasan, rumah mewah, dan mobil bagus. Itulah segelintir tayangan dalam sinetron remaja atau sinetron lain yang meramaikan siaran pertelevisian kita. Makhluk halus, peri kecil, pertolongan benda ajaib, atau tayangan-tayangan mistis lainnya tidak jarang pula kita jumpai.

Elly Risman pun mengaku resah dengan tayangan-tayangan itu. Sebab, tayangan yang dilabeli religius pun, dinilainya tak mendidik. Elly menilai, lembaga seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kurang maksimal menindaklanjuti pengaduan masyarakat atas siaran-siaran tersebut, sedangkan pemerintah diam (Republika, 11/02).

Ironisnya para remaja Indonesia justru senang dan cenderung meniru tayangan sinetron yang jauh dari nilai-nilai edukasi. Salah satu indikator ini dapat dilihat dari jumlah pengunjung mall dan kafe yang didominasi para remaja. Jumlah mereka di dua tempat itu bisa mencapai 10 kali lipatnya jumlah remaja yang ada di perpustakaan. Schedule untuk mengulang pelajaran dari sekolah di malam hari pun, tidak lagi menjadi skala prioritas.

Apalagi kini sudah mulai tampak kecenderungan perilaku anak muda Indonesia, terutama di kota besar, yang tidak mau ambil pusing dengan patokan moral, pendidikan, atau karir yang diarahkan orang tuanya. Sinetron menjadi guru private bagi mereka, ’ilmu’ yang diberikan dari tayangan visualiasi itu, hampir seluruhnya diadopsi.

Padahal sinetron remaja justru kian menstimulus dan gencar mentransformasikan perilaku amoral. Sebagai implikasinya, sikap hiruk pikuk, serba eksentrik, dan glamor, sangat mudah kita temui pada remaja saat ini. Sebaliknya, prestasi mereka di tingkat nasional apalagi skala internasional sangat sulit dijumpai.

Budaya ketimuran yang dulu melekat pada bangsa ini kian sirna ditelan efek industri media. Pengaduan-pengaduan masyarakat kepada pihak terkait pun sangat jarang yang ditindaklanjuti, sementara persaingan global terus berjalan. Jika remaja kita selalu dicekoki dengan sinetron dan siaran tak bermutu lainnya, sulit membayangkan masa depan negeri tercinta ini.

Pertanyaan M. Lubabun mengenai adakah kesadaran dari pesinetron remaja kita (M. Lubabun Na’im, Kondisi Belajar yang Tak Sebenarnya) yang dimuat di Prokon Aktivis (22/05), sulit untuk dijawab. Setidaknya ada tiga alasan mengapa pertanyaan tersebut sulit untuk dijawab.

Pertama, secara individu para pengelola sinetron tentu menyadari adanya susupan dekonstruksi moral yang diangkat dalam karya mereka. Ini tercermin dari tayangan sinetron remaja yang menggambarkan hedonis, konsumtif, melawan guru maupun orang tua, mengajarkan kekerasan, dan tayangan buruk lain. Namun demi mendapat profit, mereka rela melepaskan kaidah agama, moral, etika, dan pendidikan.

Kedua, atas nama rating para pelaku usaha ini berlomba memenangkan persaingan di ajang kompetisi industri media dan melupakan kaidah-kaidah yang seharusnya menjadi rambu bagi kreatifias mereka. Padahal banyak tokoh berpendapat bahwa validitas rating patut dipertanyakan.

Ketiga, para remaja dan masyarakat Indonesia secara umum memang rela menerima secara pasrah virus yang ditularkan ’kotak ajaib’ ini. Sinetron dan tayangan lain di televisi telah dianggap sebagai sesuatu yang absolute, bahkan cenderung dijadikan panutan hidup. Jawaban dari pertanyaan M. Lubabun hanya ada pada nurani para pelaku usaha sinteron dan pebisnis pertelevisian itu sendiri.

Terlepas ada tidaknya kesadaran dari insan produksi sinetron. Remaja dan masyrakat luas perlu memiliki kesadaran sendiri untuk meninggalkan sinetron. Paling tidak dapat melakukan seleksi secara ketat terhadap sinetron yang ditontonnya.

Gagasan diet televisi merupakan alternatif dan solusi terbaik untuk menangkal doktrin siaran televisi, termasuk tayangan sinetron yang berpotensi membahayakan para remaja di kemudian hari. Kesadaran ini tentunya harus datang dari diri sendiri tanpa paksaan sedikitpun.

Peran orang tua, terutama Ibu, sangat dituntut untuk menjaga anak mereka dari bahaya sinetron. Karena banyak ibu-ibu di Indonesia yang justru hapal dengan jadwal sinetron, bahkan larut dalam cerita hiperbolis di dalamnya. Akibatnya sang anak menganggap hal tersebut dibenarkan, kemudian apa yang mereka saksikan terekam dalam memorinya dan membentuk frame pemikirannya. Ini sangat berbahaya bagi usia anak dan remaja yang masih meraba jati diri.

Tokoh yang menggagas gerakan diet televisi ini menyarankan, sebaiknya kita cukup menonton televisi dua jam dalam sehari. Kegiatan yang biasa dihabiskan untuk menonton televisi dapat diganti dengan membaca, diskusi dengan teman atau keluarga, rekreasi, dan masih banyak aktfitas lain selain menyaksikan sihir ’kotak ajaib’.

Banyak tokoh terkemuka lain di Indonesia yang justru benar-benar meninggalkan televisi, alias tidak ingin mengisi ruang tamu atau kamarnya dengan televisi. Untuk mendapat akses informasi dapat diperoleh melalui media cetak, internet, radio, dan memperbanyak buku bacaan untuk pengayaan wawasan.

Diet televisi sekaligus dapat menguji validitas sebuah rating. Analoginya, jika remaja dan masyarakat serempak melakukan diet televisi dengan meninggalkan sinetron atau tayangan dekonstruktsi lainnya dalam kurun waktu seminggu atau lebih. Kemudian jika rating dalam tayangan yang ditinggalkan masyarakat tersebut masih tinggi, tentu rating itu hanya sebuah rekayasa.

Hal paling utama dari efek positif diet televisi ini adalah bersama-sama menyelamatkan perilaku anak dan remaja Indonesia sebelum semuanya terlambat. Karena untuk menunggu kesadaran pihak pesinetron, bagai menanti hujan deras di musim kemarau. Untuk itu gagasan YPMA mengajak diet televisi di 10 kota besar selama sepekan pada 23 Juli 2007 mendatang, harus kita dukung demi masa depan generasi bangsa. Alangkah lebih baiknya jika gagasan tersebut kita latih dari sekarang. Diet televisi? Yuuuk...

Tidak ada komentar: